Keamanan Pangan dan Hak Konsumen
Kontroversi tentang susu formula yang
diketahui terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii terus bergulir.
Peristiwa yang sebenarnya sudah terungkap pada
2008 itu kembali mencuat setelah gugatan David Tobing—konsumen susu formula
bayi—terhadap Institut Pertanian Bogor (IPB) dikabulkan Mahkamah Agung. Dalam
gugatannya, David Tobing meminta IPB, sebagai pihak yang meneliti, mengumumkan
merek susu formula yang terkontaminasi bakteri kepada publik.
IPB meneliti 22 sampel susu formula dan 15
sampel makanan bayi produksi 2003-2006. Hasilnya, 22,73 persen sampel susu
formula dan 40 persen sampel makanan bayi positif terkontaminasi bakteri
Enterobacter sakazakii yang bisa membahayakan kesehatan bayi. Hasil penelitian
diumumkan pada Februari 2008 tanpa menyebutkan merek produk yang
terkontaminasi.
Meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa, peristiwa
seperti ini sudah berulang terjadi. Masyarakat sering dihebohkan dengan temuan
zat kimia berbahaya, seperti formalin dan boraks, sebagai bahan pengawet
makanan. Namun, tanggapan pemerintah cenderung reaktif.
Oleh karena itu, ke depan perlu ditemukan cara
yang semestinya dilakukan oleh semua komponen masyarakat agar tidak selalu
heboh sesaat begitu ada kejadian, lantas masuk peti es.
Empat kriteria
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2004
telah mengatur tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. PP tersebut menyatakan
bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimiawi, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Adapun menurut Widyakarya Pangan dan Gizi,
masalah keamanan pangan menyangkut empat kriteria: aman dari kontaminasi bahan
kimia berbahaya, aman dari kontaminasi mikro- organisme, aman secara kaidah
agama (halal), dan aman secara komposisi gizi (wholeness).
Masalah keamanan pangan juga diatur dalam
banyak peraturan, di antaranya Undang-Undang Kesehatan No 23/1992, Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
304/Menkes/Per/IV/1989 tentang Persyaratan Kesehatan Restoran, dan Nomor 712/Menkes/Per/1986
tentang Persyaratan Kesehatan Jasa Boga.
Cemaran mikroorganisme pada makanan merupakan
kasus yang sering kita jumpai. Banyak insiden diare di masyarakat akibat
cemaran bakteri E coli pada makanan dan minuman. Namun, kasus kontaminasi
bakteri Enterobacter sakazakii pada susu formula di Indonesia belum banyak
laporan epidemiologinya.
Sepanjang 1983-2004 di seluruh dunia
dilaporkan 60 kasus kontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii pada bayi
terkait susu formula, yaitu di Amerika Serikat, Eslandia, Kanada, Israel, dan
Belgia. Gejalanya bervariasi, mulai dari diare sampai meningitis dan kematian.
Dampak itu 80 persen terjadi pada bayi di bawah usia satu tahun, 66 persen
berusia kurang dari satu bulan (utamanya bayi prematur), bayi berat badan lahir
rendah, atau bayi dari ibu HIV/AIDS. Risiko bagi bayi di atas satu tahun dan
berbadan sehat sangat kecil (Kompas, 29 Februari 2008).
Ada tiga sumber yang mungkin tercemar pada
susu formula, yaitu bahan baku, saat sterilisasi, dan saat membuat susu
formula. Pengenalan ini memandu kita untuk menghindari kemungkinan terjadinya
pencemaran. Di antaranya menyajikan susu formula secara higienis, mulai dari
menggunakan air yang telah mendidih hingga membuang sisa susu yang sudah larut
setelah dua jam.
Langkah cepat
Pemerintah harus bertindak cepat menuntaskan
kasus keamanan pangan, seperti susu formula yang terkontaminasi ini. Pertama,
adalah tugas pemerintah memberikan rasa aman kepada konsumen. Kedua, melindungi
produsen pangan yang jujur agar tidak bangkrut. Ketiga, penegakan hukum.
Pasal 47 PP No 28/2004 tentang Keamanan, Mutu,
dan Gizi Pangan menyebutkan, jika produk pangan membahayakan kesehatan dan jiwa
manusia harus ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Langkah penegakan hukum
ini menjadi kata kunci agar kasus-kasus serupa tidak terulang pada masa
mendatang.
Di sisi lain, kasus ini bisa menjadi momentum
awal kampanye nasional gerakan ibu menyusui. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) dan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), kini tinggal 61 persen ibu yang
mau menyusui bayinya selama empat bulan dan hanya 35 persen yang menyusui
hingga enam bulan.
Komentar
Posting Komentar